Search

Jepang: Di balik kotak bekal makan siang anak-anak yang menakjubkan - BBC Indonesia

Setiap tahun, lima miliar kotak makan siang dibuat di Jepang.

Kotak makan siang ala Jepang—yang dikenal sebagai bento—berisi nasi, sayuran, daging, dan makanan lainnya. Konsumennya dari anak-anak hingga orang dewasa.

Faktanya, lebih dari 70% dari lima miliar itu untuk orang dewasa, karena bento menawarkan pilihan yang lebih murah dan lebih sehat bagi banyak pekerja, dibandingkan makanan cepat saji.

Tapi ekspektasi untuk membuat bento yang menakjubkan bagi anak-anak mereka setiap hari menjadi sumber stres dan tekanan bagi para ibu — terutama para ibu yang bekerja.

Kotak makan siang di Jepang juga bukan sekadar "makanan sisa semalam" seperti di tempat-tempat lain. Ada penekanan yang jauh lebih besar pada presentasi makanan. Bahkan di masa kanak-kanak, saya ingat ibu saya merasa stres karena kotak makan siang saya terlalu "coklat dan putih" (daging dan nasi).

Apa yang sering diangkat sebagai berita internasional adalah "bento karakter" - dikenal sebagai chara-ben - paket makan siang yang dibuat agar terlihat seperti panda, boneka beruang, atau bahkan wajah manusia.

Chara-ben bukanlah hal yang biasa, tapi fenomena itu menunjukkan berapa banyak waktu yang dihabiskan seorang ibu untuk membuat bento untuk anak-anak mereka.

"Kotak Bento adalah ungkapan cinta seorang ibu untuk anaknya, melalui komitmen waktu dan pikiran untuk menciptakan kotak makan siang yang sehat, inovatif, dan indah," kata Barbara Holthus, wakil direktur Institut Jerman untuk Studi Jepang di Tokyo.

"Ibu - dan anak-anak - disosialisasikan ke dalam pandangan ini."

Teman sekolah saya Miki Okamura, yang merupakan ibu dari dua anak, suka membuat chara-ben dan sering memamerkan karya-karyanya di media sosial.

"Saya mulai membuat mereka karena putri saya suka pilih-pilih makanan, jadi saya pikir jika saya membuatnya terlihat cantik, ia mungkin jadi terdorong untuk makan lebih banyak," katanya kepada saya.

"Begitu saya mulai membuat chara-ben untuk kedua anak saya, mereka mulai menantikannya, dan teman-teman serta gurunya juga mulai bertanya 'apa chara-ben kamu hari ini?' Jadi saya terus melakukannya selama dua tahun," kata Okamura.

"Mereka sekarang di sekolah dasar yang menyediakan makan siang, tapi begitu mereka masuk SMP, saya harus mulai membuatnya lagi setiap hari."

Okamura tidak berpikir ia akan membuat chara-ben lagi karena sekarang anak-anaknya sudah lebih dewasa, tetapi ia menyebut tugas membuat kotak makan siang sebagai "pekerjaan paling penting bagi seorang ibu".

"Tidak hanya Anda memastikan mereka makan makanan sehat, tapi Anda juga dapat mengekspresikan cinta Anda kepada anak-anak," katanya.

Simbol status

Kata "bento" diperkirakan pertama kali diciptakan selama Zaman Edo yang berlangsung sekitar tahun 1600 hingga 1867. Wadah makanan yang didekorasi dengan indah dibawa ke teater dan acara rekreasi lainnya seperti piknik. Saat itu, bento menjadi simbol kekayaan dan status.

Dan di Jepang modern, masih ada penekanan pada estetika bento, meskipun dengan latar belakang masyarakat yang jauh lebih cepat dan bertekanan tinggi.

Sekarang, bento harus berwarna-warni dan menyenangkan, untuk membuat anak yang rewel mau makan sayur. Dan industri yang menjual wadah makanan imut, sendok-garpu, dan peralatan makanan lainnya bermunculan untuk memfasilitasi hal ini.

Ibu lainnya, Risako Kasahara, juga memamerkan gambar kotak makan siang putrinya di media sosial. "Awalnya bikin stres," katanya. "Tapi saya sudah belajar sejumlah trik. Jika saya lupa memasak nasi, saya akan segera merebus mie atau pasta, misalnya."

"Aturan pribadi saya adalah memasukkan lima warna: merah, kuning, hijau, hitam dan putih, karena jika Anda tidak berhati-hati, banyak hidangan cenderung berwarna cokelat."

"Saya mencoba membuat chara-ben waktu anak-anak saya masih kecil, tapi mereka tampaknya sulit untuk makan. Mereka pernah pulang tanpa menyentuh makanan karena tidak ingin memakan karakternya, jadi saya berhenti membuatnya," ia tertawa.

Chara-ben adalah fenomena relatif baru yang mendapatkan momentum pada 2000-an. Tapi bahkan ketika saya kecil, jika Anda membawa sandwich yang dibeli di toko, guru Anda akan bertanya apakah ibu Anda sakit.

Pada stau sisi Miki Okamura mengatakan apapun alasannya, ia tidak akan membiarkan membiarkan anak-anak membawa makanan yang dibeli di toko ke sekolah.

Di sisi lain, Risako Kasahara mengatakan bahwa "yang penting adalah mengemasnya dengan baik, karena jika anak-anak membawa makanan seperti yang Anda beli mereka di toko, kami ditegur oleh sekolah."

Seperti banyak hal, tekanan saat ini ada pada skala yang berbeda, terutama dengan media sosial.

Para selebritas yang dikenal sebagai "mama talent", seperti Nozomi Tsuji dan Yuko Ogura, punya ratusan ribu pengikut di media sosial, tempat mereka membagikan tampilan kotak makan siang buatan mereka.

"Bento-shaming"

Tapi media sosial bisa jadi tanpa ampun. Itulah yang dipelajari seorang komedian yang dikenal sebagai Highheel Momoko setelah ia bercanda bahwa "gadis berbaju merah muda" atau beruang yang gambarnya ia unggah terlihat seperti... mayat.

Dihakimi orang lain adalah sesuatu yang banyak orang pedulikan dan khawatirkan di Jepang - baik itu terkait bento atau yang lainnya. "Tekanan bahwa bento saya harus dinilai oleh para guru membuat saya semakin stres," kata Romi kepada saya di Twitter.

Saya ingat ketika membaca novel Eat Pray Love, yang mengatakan bahwa pasti ada satu kata yang bisa menggambarkan diri Anda dan kota Anda, saya berpikir dalam hati: "kata saya untuk Jepang adalah 'reputasi'."

Bagaimana saya dipandang? Apakah anak saya merasa malu karena saya (dan dalam hal ini, karena kotak makan siang saya yang tidak terlalu cantik)?

Sangat mudah bagi orang non-Jepang untuk mengabaikan tekanan sosial atau budaya ini, tapi itu selalu menyertai saya sepanjang hidup saya, meskipun saya sudah cukup lama tinggal di luar negeri.

Dalam bukunya pada 1946, The Chrysanthemum and the Sword, antropolog Amerika Ruth Benedict menyebut Jepang sebagai "masyarakat rasa malu", berlawanan dengan Amerika yang disebutnya "masyarakat rasa bersalah".

Meskipun ada banyak kritik terhadap karakterisasi tersebut, saya cenderung setuju bahwa rasa takut akan dikucilkan atau menjadi berbeda lebih besar dirasakan orang Jepang.

Banyak sejarawan percaya sifat tersebut bermula dari Zaman Edo, ketika penduduk desa dibagi menjadi kelompok-kelompok yang terdiri dari lima rumah tangga.

Mereka diharapkan saling membantu, tapi juga bertanggung jawab atas perilaku orang lain dalam kelompok — jadi jika satu orang melanggar aturan, semua orang dalam kelompok dapat dihukum.

Alat komunikasi

Masalahnya adalah: kotak makan siang tidak hanya untuk anak kecil di Jepang. Menurut sebuah survei baru-baru ini, banyak siswa sekolah menengah atas (usia 15 hingga 18) masih membawa kotak makan siang buatan rumah ke sekolah, dan sebagian besar dari mereka dibuat oleh ibu mereka.

Tetapi menurut Risako, yang telah membuat bento selama 10 tahun dan berencana untuk terus membuatnya sampai putrinya berusia 18 tahun, ini tentang membangun hubungan antara ibu dan anak-anak.

"Ketika remaja pemberontak sering berhenti berbicara dengan orang tua mereka, dengan makan makanan buatan ibu mereka, mereka masih merasakan cinta dan bersyukur," katanya.

"Saya juga bertanya kepada putri saya apa yang paling disukainya di kotak makan siang, jadi itu adalah alat komunikasi."

Banyak orang Jepang percaya bahwa makanan buatan rumah lebih sehat daripada yang dibeli di toko — alasan lain mengapa para ibu Jepang masih menyiapkan kotak makan siang anak-anak remaja mereka.

Saya pikir saya tidak akan melupakan ekspresi wajah teman saya ketika saya memberi anak saya yang baru berusia tiga tahun onigiri yang saya beli dari toko.

"Tahukah Anda berapa banyak pengawet makanan di sana?" Tanyanya.

Penelitian menunjukkan bahwa di Jepang sebagian besar pekerjaan rumah tangga masih jatuh pada perempuan, tapi tugas yang menegangkan untuk menyiapkan kotak makan siang semakin banyak dibagi dengan para ayah.

Hiroto Okada telah bertugas membuat kotak makan siang untuk putranya yang berusia 10 tahun selama enam bulan terakhir. Ia berencana untuk terus membuatnya sampai putranya berusia 18 tahun.

Dan meskipun ia tidak secara pribadi merasakan beratnya penilaian apakah putranya membawa makanan yang dibeli di toko atau chara-ben yang dibuat dengan rapi, ia khawatir tentang pengawet makanan.

"Saya memberi tahu putra saya bahwa saya tidak sempat chara-ben, jadi dia pulang dengan rumput laut yang sudah dipotong ini," ia berkata kepada saya.

Sementara budaya populer memperjuangkan ikumen - ayah yang dengan senang hati melakukan pekerjaan rumah tangga - sebagai cara mempromosikan keterlibatan ayah dalam kehidupan keluarga, ketika datang untuk memberi makan anak-anak mereka, saya berpendapat bahwa ayah tidak di bawah tekanan yang sama seperti ibu untuk membuat bento yang sempurna.

Tetapi setidaknya satu pengikut Twitter memberi tahu saya bahwa semuanya mulai berubah.

"Di sekolah anak saya, ibu yang bekerja tidak diharapkan membuat kotak makan siang yang luar biasa. Pada satu titik, donat dari toko menjadi 'hal keren untuk dibawa ke sekolah' dan para guru dan anak-anak lain juga berbagi beberapa makanan ringan. "

Pada pokoknya, ini bukan hanya tentang membuat kotak makan siang berwarna-warni. Ini adalah tentang semua tekanan seputar keibuan yang "sempurna".

Ketika negara ini berjuang dengan penurunan angka kelahiran, mungkin sudah saatnya untuk mengatasi tekanan sosial semacam ini — terutama karena perempuan berusia 20-an masih ingin menjadi ibu rumah tangga, bahkan ketika generasi yang lebih tua memilih karier.

Anda dapat membaca versi bahasa Inggris artikel ini, Lifting the lid on Japan's amazing bento boxes, di BBC Worklife.

Let's block ads! (Why?)



"makan" - Google Berita
October 30, 2019 at 10:42AM
https://ift.tt/32X7t8g

Jepang: Di balik kotak bekal makan siang anak-anak yang menakjubkan - BBC Indonesia
"makan" - Google Berita
https://ift.tt/2Pw7Qo2

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Jepang: Di balik kotak bekal makan siang anak-anak yang menakjubkan - BBC Indonesia"

Post a Comment

Powered by Blogger.